Abraham Samad Marah Besar, Presiden SBY pun Dikecam Pedas

Kemarin malam, Jumat, 5 Oktober 2012,  rakyat Indonesia dikejutkan dengan tindakan nekad dan konyol dari Polri yang mengepung Gedung KPK, karena hendak menangkap seorang penyidik KPK asal Mabes Polri, Komisaris Polisi (Kompol) Novel Baswedan, dengan alasan Kompol Novel adalah tersangka kasus penganiayaan berat yang pernah dilakukan pada 2004, delapan tahun yang lalu, ketika dia bertugas sebagai Kasatreskrim Polda Bengkulu.

Kompol Novel Baswedan, kini telah ditetapkan oleh KPK sebagai penyidik tetap KPK. “Sangat kebetulan” pada saat mau ditangkap KPK sedang menyidik dan memeriksa Irjen (Pol) Djoko Susilo,  “sangat kebetulan” Kompol Novel adalah inisiator yang membongkar kasus dugaan korupsi pengadaan simulator mengemudi di Korlantas Polri, “sangat kebetulan pula” dia juga adalah pimpinan tim penyidik kasus dugaan korupsi dengan tersangka utama (sampai saat ini) Irjen (Pol) Djoko Susilo.

Singkatnya, aksi Polri yang mengepung Gedung KPK, dan hendak Kompol Novel Baswedan itu terlalu banyak kebetulan dan keganjilannya. Saya mengulas sisi ini dalam tulisan saya yang berjudul Polri Buka Front, “Perang” Melawan KPK.

Tindakan Polri sebagai suatu institusi kali ini benar-benar sudah sangat, sangat keterlaluan. Mereka sudah tidak perduli lagi terhadap apa yang akan dinilai dan menjadi reaksi dari rakyat banyak. Mungkin bilamana perlu mereka akan membuka front lagi dengan rakyat, demi mempertahankan tindakannya itu.

Tindakannya itu sama dengan menyatakan “perang” melawan KPK demi melindungi koruptor-koruptor kakap di Kepolisian RI. Tindakan Polri ini sudah mirip dengan aksi mafia besar yang menyatakan perang terhadap polisi. Ironisnya, pada kasus ini justru posisi mafia ditempati institusi Polri di bawah kepimpinan Jenderal Timur Pradopo.

Kondisi ini semakin diperparah dengan diam, dan lagi-lagi diamnya Presiden SBY. Fenomena ini semakin memperteguh persepsi kita terhadap Presiden bahwa semua pernyataan anti korupsinya; mau menjadi panglima perang melawan korupsi, berdiri di garis depan memerangi korupsi, dan sebagainya, benar-benar hanya omong kosong besar. Justru, sebaliknya, saat ini, secara tidak langsung, dia malah berdiri di belakang para koruptor itu sebagai “beking” mereka.

Sangat wajar, apa yang terjadi sejak Jumat malam, 5 Oktober 2012 sampai dengan sekarang itu membuat Ketua KPK Abraham Samad benar-benar sangat marah. Kemarahan Abraham Samad itu sudah sampai di ubun-ubun kepalanya. Abraham Samad tidak lagi bisa menahan emosi kemarahannya itu, dengan mencurahkannya melalui akun Twitter-nya yang sebelumnya tidak aktif itu (mulai aktif 03/12/11 sampai 17/03/12. Setelah itu baru berkicau lagi pd 05/10/12 ini. Total hanya ada 36 kicauan), beberapa saat setelah Polri mengepung dan hendak menangkap Kompol Novel Baswedan di Gedung KPK itu.

Dalam 11 kicauannya itu Abraham Samad (@SamadAbraham) tidak bisa lagi menahan dirinya untuk mengecam Presiden SBY dengan kata-kata yang sangat pedas. Kepada Presiden SBY, Abraham mengatakan:

“Sumpah Presiden yang akan memimpin pemberantasan korupsi dan berada di garda depan dalam upaya tsb adalah omong kosong.”

“Saya terus terang sudah geram terhadap perilaku Polri sbg institusi yang melemahkan pemberantasan korupsi dan Presiden yang diam saja.”

“Diamnya Presiden membuat saya curiga; jangan-jangan dia atau anggota keluarganya disandera oleh Polri terkait suatu kasus.”

Selengkapnya di bawah ini adalah 11 kicauan kemarahan Ketua KPK Abraham Samad tersebut:

- Malam ini adalah titik nadir dalam upaya pemberantasan korupsi di negara kita ini.

- Kriminalisasi terhadap KPK sudah dilakukan bukan oleh oknum kepolisian tapi sudah oleh institusi POLRI itu sendiri.

- Tuduhan yang dilayangkan oleh Polri terhadap penyidik kami Sdr Novel Baswedan sungguh sangat mengada-ada.

- Kriminalisasi terhadap Novel oleh Polri dilandasi oleh argumen dan logika yang menghina akal sehat publik.

- Posisi Presiden yang membiarkan Polri menyalahgunakan otoritasnya untuk meneror KPK adalah sangat disayangkan.

- Sumpah Presiden yang akan memimpin pemberantasan korupsi dan berada di garda depan dalam upaya tsb adalah omong kosong.

- Saya terus terang sudah geram terhadap perilaku Polri sbg institusi yang melemahkan pemberantasan korupsi dan Presiden yang diam saja.


- Jangan salahkan kami dan publik jika Presiden akan dikenang nantinya sebagai pemimpin yang melindungi koruptor dan cedera janji.

- Diamnya Presiden membuat saya curiga; jangan-jangan dia atau anggota keluarganya disandera oleh Polri terkait suatu kasus.

- Terimakasih tak terhingga kepada teman2 atas dukungannya selama ini. Mohon maaf saya tidak bisa menjawab satu persatu tweet teman2.

- Satu hal yang pasti. Kami tidak akan mundur sejengkal pun berjihad melawan koruptor walau kami diteror oleh polri atas sepengetahuan presiden.

Sampai Abraham Samad mengeluarkan pernyataan-pernyataan sangat keras tersebut, dapat kita bayangkan seberapa besar kemarahan Ketua KPK periode 2011-2015 itu. Tindakan Polri, sikap Kapolri dan, bahkan Presiden SBY tersebut memang sudah amat sangat keterlaluan. Entah kata-kata apa lagi yang lebih tepat menggambarkan begitu bobroknya pemerintah ini.

Omong kosong Presiden SBY tentang tekadnya untuk menjadi pimpinan terdepan memberantas korupsi, full support KPK, dan sebagainya itu, sudah tidak perlu diragukan sedikitpun. Tentu, ada hal yang membuat dia bersikap seperti itu. Seperti juga yang dikatakan Abraham di kicauan akun Twitter-nya itu, semakin mungkin bahwa SBY bersikap seperti ini karena dia sendiri dan/atau anggota keluarganya punya salah. Suatu kesalahan besar yang telah dilakukan, dan itu diketahui oleh Polri, dan Kapolri. Oleh karena itu SBY tak berkutik menyaksikan sepak terjang Polri yang sedemikian vulgar di depan matanya. Harga dirinya sebagai seorang Presiden RI pun dikesampingkan. Karena SBY atau anggota keluarganya disandera Polri terkait suatu kasus.

Kemarahan Ketua KPK Abaraham Samad, dan dukungan besar publik kepada KPK sebagaimana terlihat pada kejadian semalam di Gedung KPK, tak juga membuat SBY mengubah sikapnya. Dengan alasan terkait kejadian itu Presiden merasa belum perlu turun tangan, maka dia tetap diam, diam, dan diam. Membiarkan konflik Polri vs KPK terus berlangsung.

Bahkan tindakan Polri yang jelas-jelas mengkriminalisasi KPK secara sedemikian vulgarnya dianggap pihak Istana sebagai bukan sesuatu yang serius. Penilaian tersebut dianggap Istana hanyalah asumsi, yang belum tentu benar.

“Terkait kejadian semalam, penanganan belum perlu di level Presiden. Namun, ini bukan berarti Presiden hands-off,” kata Juru Bicara Presiden, Julian Aldrin Pasha kepada Kompas.com, Sabtu, 06/10/2012.

Sedangkan terkait pernyataan upaya kriminalisasi Polri terhadap KPK, menurut Julian itu hanyalah asumsi publik saja.

Pada kesempatan tersebut, Julian juga mengatakan, Kapolri Jenderal Timur Pradopo tidak mengetahui adanya pengepungan Gedung KPK oleh Polisi dan Provos itu. Jenderal bintang empat ini juga dikatakan tidak mengetahui kedatangan Polda Bengkulu ke Jakarta yang bertujuan menangkap Kompol Novel, yang juga Wakil Ketua Satgas Tim Simulator.

“Polda Bengkulu melakukan penyelidikan. Dan menurut peraturan, hal ini tidak harus dilaporkan,” kata Julian.

Pernyataan pihak Istana ini pantas membuat kita semakin marah dan muak. Kepercayan terhadap Presiden SBY dalam pemberantasan korupsi semakin merosot ke titik nadir terdalam. Pihak Istana telah kehilangan akal sehatnya, sehingga menganggap rakyatnya adalah kumpulan orang bodoh yang percaya apa saja yang mereka katakan, sekonyol apapun pernyataan itu.

Sangat tidak masuk akal aksi pengepungan dan niat hendak menangkap Kompol Novel Baswedan di Gedung KPK itu tidak diketahui sama sekali oleh Kapolri. Sangat tidak masuk akal, di tengah-tengah gegap-gempita KPK vs Polri itu, dan diperiksanya Irjen Djoko Susilo oleh KPK itu, ketika polisi menggepung dan hendak menangkap penyidik KPK yang sedang menangani kasus itu, seorang Kapolri sama sekali tidak diberitahu, dan sama sekali tidak tahu apa-apa. Lebih tidak masuk akal lagi, kalau Jenderal itu pun tidak mempermasalahkannya semuanya itu.

Peristiwa semalam itu begitu menghebohkan, disiarkan langsung oleh televisi. Apakah Jenderal Timur Pradopo tetap juga tidak tahu apa-apa? Masuk akalkah tidak ada satu pun anak buahnya yang melaporkan kepadanya?

Pihak Istana, Presiden SBY yang jelas-jelas mengetahui langsung kejadian, juga tidak merasa perlu mengontak Kapolri, atau siapapun petinggi Polri di Mabes Polri sana? Benar-benar dengan cara berpikir orang bodoh pun, pernyataan Julian itu sedikitpun tidak masuk akal.

Sudah lebih dari pantas, minimal Presiden SBY mencopot Jenderal Timur Pradopo dari jabatannya itu. Tetapi, mana berani dia? Seperti yang dicurigai Abaraham Samad, jangan-jangan pembiaran demi pembiaran oleh SBY itu dikarenakan dia dan/atau anggota keluarganya disandera Polri dan Kapolri?

Sampai seberapa lama Presiden SBY “berkomplot” dengan Polri dalam “perang” melawan KPK seperti sekarang ini?

SBY dan Polri boleh saja “saling mendukung” melawan KPK, tetapi yang pasti dukungan rakyat kepada KPK akan semakin lama semakin kuat. Kecenderungan dukungan itu semakin radikal pun semakin nyata. Seperti yang terlihat pada kejadian semalam, ketika ratusan massa secara spontan membentengi Gedung KPK dari incaran Polri.

Bisa jadi kejadian semalam merupakan awal dari pergerakan besar rakyat melawan penguasa yang koruptif. Yang semakin lama semakin berkobar, menjadi mirip dengan apa yang pernah terjadi pada Mei 1998. Ketika gerakan massa rakyat, mahasiswa, tokoh masyakarat, tokoh lintasagama, dan tokoh akademisi bersatu-padu melawan pemerintahan yang lalim, dan menjatuhkannya. Saat ini mereka akan bersatu padu lagi melawan pemerintah yang bengal dan koruptif, untuk juga dijatuhkan secara paksa.

Kalau pada 1998 Gedung DPR/MPR adalah titik tolak pergerakan massa mahasiswa, maka di 2012 ini bisa jadi Gedung KPK  adalah titik tolak pergerakan massa antikorupsi.

Apakah SBY lebih takut Polri daripada rakyat? Apakah SBY tidak mau belajar dari sejarah? Mungkin saat ini dia memang berada dalam posisi yang serba salah, karena jangan-jangan memang pernah berbuat salah. Sehingga maju kena, mundur pun kena.

Seperti judul headline Harian Kompas, Selasa, 2 Oktober 2012: “Jangan Melawan Rakyat,” seperti itu pulahlah pesan yang hendak disampaikan masyarakat pendukung KPK. Jangan main-main dengan kekuatan rakyat, Bukan tidak mungkin, apabila rezim ini terus diam, atau diam-diam mendukung pelemahan/pembubaran KPK dengan cara-cara seperti sekarang ini, maka ini titik awal dari kejatuhan mereka di tangan rakyat.

Cara kejatuhan rezim Soeharto akankah berulang dari sini?***

Source
Comments
0 Comments

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...